Senin, 28 Maret 2011

Pemerintah Segel Kantor PSSI

Penyegelan sekretariat PSSI ini kabarnya diperintahkan oleh Mensesneg.

Kantor PSSI
Pemerintah melalui kantor kementerian sekretariat negara [kemensesneg] dikabarkan bakal menyegel sekretariat PSSI di kawasan Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta, Selasa [28/3].

Rumor ini muncul berkembang menyusul 'pembekuan' kepengurusan PSSI yang dilakukan Menegpora Andi Mallangareng. Kabarnya, perintah penyegelan sekretariat PSSI itu dikeluarkan Mensesneg Sudi Silalahi. Kemensesneg selama ini menjadi pengelola kawasan Gelora Bung Karno.

Menanggapi kabar tersebut, manajer humas PSSI Tubagus Adi menyayangkan jika penyegelan itu tetap dilakukan Kemensesneg. Menurutnya, langkah yang diambil pemerintah sama dengan memberikan dukungan terhadap pihak-pihak yang melangsungkan kongres inkonstitusional.

“Saya juga sudah mendengar kabar itu. Kami sangat menyayangkan keputusan tersebut, karena kami menyewa dari pengelola Gelora Bung Karno. Tapi kami akan melakukan perlawan, dan akan menyiapkan kuasa hukum,” ujar Adi.

“Apa yang dilakukan pemerintah semakin memperlihatkan keberpihakan kepada penyelenggara kongres inkonstitusional di Pekanbaru kemarin. Seharusnya pemerintah mengayomi, bukan memperlihatkan keberpihakan.”


Oleh Donny Afroni, Goal.com, 28 Mar 2011 21:55:00

Kontroversi Intel Menyadap

Ilustrasi
USUL itu bak bom di tengah maraknya "bom buku" akhir-akhir ini. Pekan lalu pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas usul agar intelijen diberi kewenangan menyadap tanpa izin pengadilan. Kewenangan itu dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Intelijen yang kini memasuki tahap akhir pembahasan di Komisi Pertahanan. "Itu perangkat untuk mencegah ancaman kepada negara," kata Tubagus Hasanuddin, Ketua Komisi, pekan lalu.

Inilah usul yang segera membuat sejumlah pihak meradang. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim, misalnya, menyebut penyadapan tanpa izin berpotensi melanggar hak asasi. Kekhawatiran yang sama dinyatakan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Hariz Azhar. Kontras waswas penyadapan itu digunakan untuk kepentingan politik.

RUU Intelijen merupakan RUU inisiatif DPR. Awalnya, kata Hasanuddin, selain menyadap secara otomatis, aparat intelijen akan dibekali kewenangan menangkap dan menahan. Tapi usul ini gugur saat dibahas. Penahanan dan penangkapan diserahkan ke polisi. "O ya, menyadap itu pun khusus untuk kasus terorisme," kata politikus PDI Perjuangan ini.

Untuk kasus lain di luar terorisme, dalam RUU yang digodok sejak enam bulan lalu itu dinyatakan, penyadapan dilakukan oleh intelijen di setiap lembaga, yakni kejaksaan, Bea-Cukai, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan kepolisian. Prosedurnya tetap mengacu pada mekanisme yang harus melalui pengadilan sebagai kontrol. Untuk kontrol penyadapan tersangka teroris, DPR mengusulkan membentuk panitia kerja yang disumpah tak akan membocorkan rahasia negara.

Tim DPR ini nantinya akan mengadakan rapat secara rutin dengan Lembaga Koordinasi Intelijen Negara-ini lembaga baru sebagai ganti Badan Intelijen Negara-untuk mengaudit kegiatan penyadapan. Di tim ini rencana penyadapan dibahas dan hasil penyadapan juga dibuka. Menurut Hasanuddin, ini merupakan cara pengawasan agar kekuasaan penyadapan tak disalahgunakan.

Pemerintah tentu saja setuju dengan usul ini. Teror bom yang terjadi dua pekan terakhir ini, bagi intelijen, juga disebut-sebut sebagai kecolongan. Meski menolak disebut kecolongan, toh Kepala BIN Sutanto mengakui bahwa antisipasi terhadap terorisme belum maksimal. Salah satu antisipasi itu adalah penyadapan. "Sehingga ancaman terhadap negara bisa dideteksi lebih awal," katanya. Soalnya, ujarnya, di negara-negara maju intelijen sudah lama dibekali kewenangan menyadap.

Menurut Sutanto, menyadap hanya salah satu alat. Amerika Serikat, yang intelijennya bisa menyadap orang yang diduga teroris pun, masih kecolongan ketika dua pesawat yang dibajak ditabrakkan ke menara kembar World Trade Center pada 11 September 2001.

Selain menyadap, intelijen Indonesia nantinya diberi keleluasaan memeriksa aliran dana orang yang dicurigai sebagai teroris. Dua kekuasaan ini tercantum dalam satu pasal, yakni pasal 14. Bunyinya, "BIN memiliki wewenang melakukan intersepsi komunikasi dan/atau dokumen elektronik, serta pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat terkait dengan kegiatan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase, dan kegiatan atau yang mengancam keamanan nasional".

Pasal-pasal inilah yang memancing kontroversi. DPR juga masih terbelah suaranya antara yang mendukung dan menolak usul baru ini, terutama peran pengontrol kegiatan ini. Anggota Komisi Pertahanan dari Partai Amanat Nasional, M. Najib, mengatakan izin pengadilan yang telat bisa membuyarkan intersepsi oleh intelijen terhadap orang yang diduga pelaku kejahatan.

Partai yang masih menolak justru Partai Demokrat, partai pemerintah. Ketua DPR Marzuki Alie tegas-tegas menolak usul ini. Anggota Demokrat Ramadhan Pohan, yang duduk di Komisi Pertahanan, menilai kewenangan ini terlalu besar dan tetap harus melibatkan pengadilan sebagai kontrol.

Sejumlah pegiat lembaga hak asasi dan perlindungan warga sipil memang cemas akan beleid ini. Ifdhal menyebut kewenangan menyadap tanpa melibatkan pengadilan bisa dipakai tanpa kontrol sehingga melanggar hak privasi warga negara. "Ini sudah berlebihan," kata Ifdhal Kasim kepada Rusman Faraqbueq dari Tempo.
Kewenangannya yang terlalu luas ini dikhawatirkan mendorong lembaga intelijen menjadi lembaga tanpa kontrol dan disalahgunakan, mengingat ini lembaga mandiri yang tanggung jawabnya hanya kepada presiden dan DPR. Apalagi kekuasaan itu tak dilengkapi dengan sanksi. Tak ada sanksi pidana, misalnya, jika penyadapan itu salah sasaran.

Menurut Hasanuddin, soal sanksi akan diatur oleh aturan lain. Misalnya, jika anggota komisi pengawas membocorkan hasil penyadapan bisa dipidana memakai Undang-Undang Rahasia Negara. Soal penyadapan salah sasaran akan disaring melalui rapat dengan panitia kerja DPR. Tapi para aktivis tetap menuntut: penyadapan mesti lewat prosedur yang tidak melanggar hak asasi dan rentan disalahgunakan.

Bagja Hidayat, Tempo Online,  28 Maret 2011